Bagaimana mewujudkan Angen-angen Seorang Ibu Untuk Anaknya Yang Disabilitas
ketika menjenguk syifa |
Menjelang
Maghrib sebuah notifikasi muncul di Android, isinya sebuah berita dari media
online Lokal yang mengupas tentang keluh kesah seorang janda miskin dari Desa
Tondowulan Kecamatan Plandaan Kabupaten Jombang bernama Suryati dengan anak berusia 11 tahun
yang menyandang disabilitas Fisik (Cerebral Palsy). Mereka mengatakan bahwa
selama ini belum pernah menerima bantuan.
Malamnya
menjelang tengah malam masuk kembali sebuah notifikasi berisi video dari sebuah
televisi yang terkenal dengan ikan terbangnya. Narasinya sama namun dengan
bentuk video pendek.
Sebagai kepanjangan tangan negara yang mengurusi airmata, segera melakukan pengecekan ke beberapa
pihak tentang apa yang terjadi dengan keluarga tersebut.
Hari
berikutnya Bersama tim segera melaksanakan kunjungan lapangan untuk
mengetahui tentang kondisi sebenarnya keluarga tersebut.
Dari hasil kedatangan
langsung ke rumah yang bersangkutan, ternyata fakta yang didapatkan berbeda
dengan pemberitaan. Bahwa yang bersangkutan adalah janda cerai hidup, miskin, mempunyai anak perempuan berusia 11 tahun
penyandang disabilitas adalah benar.
Akan tetapi
jika belum mendapatkan bantuan sosial sama sekali adalah kurang tepat. Selama ini bu Suryati dan Ainur Syifa telah
mendapatkan berbagai macam bantuan dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Kabupaten
Jombang maupun Pemerintah Desa setempat. Selain bantuan yang bersifat resmi,
bantuan dari para dermawan baik individu dan komunitas juga telah disalurkan
kepada beliau.
Pendampingan
oleh fisioterapis untuk adik Syifa juga telah dilaksanakan secara berkala sejak
2020. Dan ada perkembangan positif dari Adik Syifa yang sekarang sudah bisa
duduk tegak.
Dari sisi
pemenuhan kebutuhan dasar msupun jsminan kesehatan telah tercukupi, bahkan
menurut beliau kadang sampai berlebihan. Indonesia yang menganut Welfare State
untuk saat ini terbukti telah hadir.
Satu yang belum didapatkan! Pendidikan
Sebelum
mengakhiri kunjungan hari itu, saya sempat mengobrol dengan Bu Suryati -kali
ini tanpa merokok-
“Jenengan
namung kalih Dik Syifa mawon bu?’’ tanya saya memulai percakapan. “Nggih,
namung kalih Syifa mawon, makane mantun Maghrib griyane kulo tutupi sampunan”
jawab beliau. “Sedherek-sedherek kulo tebih, menawi mriki nggih jarang,
paling sewulan pindah” terusnya.
“Dek
Syifa rewel mboten bu?” tanya saya sambil melihat gadis kecil itu yang
tampak malu-malu. “Älhamdulillah mboten, larene nek maem nopo teng kamar
mandi nggih saget ngomong teng kulo”jawabnya mulai terisak.
“Sak
niki njennegan mbetahaken nopo malih bu?, nopo butuh modal?”tanya saya lagi,
karena saya masih merasa ada yang kurang. “Menawi kebutuhan kulo pun cekap,
wong namung kulo kalihan Syifa, vitamin nopo susu nggih sampun kathah, kadang
kulo nggih kepikiran timbang teng ngriki luwih diparingaken liyane ingkang
mbetahaken” jawabnya bijak, karena sudah tercukupi semua dari bantuan yang
diberikan kepadanya.
“Kulo
namung pengen Syifa niki saget mlampah terus saged sekolah kados
lare-lare liyane niku” jawabnya lirih
namun penuh pengharapan.
Jawabannya
kali ini membuat saya tercekat dan terdiam. Hanya memandang gadis kecil itu
yang tampak bercanda dengan fisioterapisnya. Itu adalah sebuah impian yang
belum bisa diwujudkan. Kali ini negara belum hadir.
Sejauh ini gadis
yang selalu ditemani oleh kevin nino (seekor ayam yang menemaninya) belum
mengenyam Pendidikan sama sekali, walaupun UUD 1945 pasca amandemen
mengamanatkan ‘Setiap warga negara berhak mendapatkan Pendidikan”dan “Setiap
warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya”.
Inilah yang
menjadi PR bagi para stake holder untuk memberikan pendidikan kepada seluruh
warga terutama para penyandang disabilitas yang kebanyakan belum tersentuh
pendidikan.
Untuk Syifa memang agak sulit tapi bukan
berarti tidak bisa. Pendidikan SLB terdekat dari rumah Syifa lumayan jauh
karena berbeda kecamatan. Harus dibonceng motor, melihat kondisi sekarang akan
kesulitan jika Bu Suryati membonceng Syifa sendirian. Paling tidak, harus ada
volunteer yang mau antar jemput setiap hari.
Ada satu
lagi yakni Pendidikan Inklusi, yang mencampur siswa ABK dan non ABK. Namun
tidak bisa dipungkiri, dibutuhkan sebuah kebijakan yang untuk merubah sebuah Sekolah
Biasa menjadi Sekolah Inklusi. Jika ini berhasil mungkin anak-anak seperti
Syifa bisa mendapatkan hak dan melaksanakan kewajibannya. Maka Indonesia
Sebagai Welfare State betul-betul terwujud.
Semoga
Syifa dan anak-anak seperti Syifa yang belum tersentuh pendidikan bisa segera
mendapatkan pendidikan, walaupun pendidikan yang akan diperoleh mungkin belum
bisa mengantarkannya menggapai cita-cita.
Kadang
bersyukur saja tanpa bertindak sesuai kemampuan dan kapasitas yang kita miliki,
hanyalah sebuah egoisme.
Komentar
Posting Komentar