Penyebaran HIV Karena Dilema Kebijakan

senyapnya HIV menyebar

Siang itu, seluruh staf terhenyak setelah sebuah telepon masuk ke operator. Penelpon yang dari dinas Kesehatan menanyakan status KIS atas nama bunga, kelahiran tahun 97, alamat di sebuah desa di pingir Sungai Brantas.

KIS tersebut akan digunakan untuk proses persalinan. Operasi yang dilakukan sebenarnya biasa saja, namun yang ,luar biasa adalah status pasien yang menurut hasil pemeriksaan mengidap HIV.

Pengecekan tidak butuh waktu lama, dan kartu masih bisa diaktifkan. Keluarganya perlu untuk datang melakukan aktivasi.

Kasus Non Aktif KIS terutama yang dibiayai oleh APBN memang jamak terjadi. Penyebab utamanya karena yang bersangkutan tidak masuk DTKS. Ada yang bisa langsung diaktifkan, ada yang yang tidak bisa, sehingga harus mengajukan dari awal lagi.

Yang agak berbeda karena baru kali ini ada kasus HIV. Saya awalnya sempat “ngeyel” kenapa harus pakai KIS karena di Kota Santri ini sudah ada pembiayaan untuk pasien HIV. Kengeyelan saya berhenti setelah diberitahu bahwa kejadiannya di luar kota.

Aktivasi terpaksa tertunda karena pasien ternyata berada di RSUD kota lain. Suami pasien tidak ada -untuk tidak menyebut tidak jelas siapa-.

Kami menghubungi pemdes tempat kelahiran bunga, karena alamat pada KTP masih ada disitu. (sesuai peraturan, kami tidak menyebutkan bahwa bunga menderita HIV). Keluarganya berhasil dihubungi oleh perangkat desa.

Keesokan harinya datang seorang laki-laki dan seorang perempuan yang ternyata kakak dan ibu dari Bunga. Mereka bermaksud menguruskan aktivasi bagi pasien tersebut.

Kakak dari bunga yang kebetulan kenal dengan teman saya menceritakan awal mula bunga bisa tinggal di desa dekat dengan lokasi wisata Tretes tersebut.

Dulu bapak dan ibunya berpisah, Bunga ikut bapaknya ke dekat Tretes dan si kakak ikut ibunya tetap tinggal di Kota Kelahiran Ludruk ini.

Ternyata sang kakak -dan ibunya juga- sudah tahu kondisi sebenarnya. Mereka sudah mendengar tertularnya bunga karena jatuh ke lembah prostitusi di daerah tersebut.

“arep tak gowo mulih ae, bojone yo ra enek” kata kakaknya sedikit geram. Ibu bunga juga membenarkan “iyo mas timbang ra enek sing ngramut”.

“sak bayine pisan?”tanya teman saya. Kakaknya menyahut “bayine meninggal, jane negative (hasil) tes-e”.

Teman saya, yang sering berbincang dengan ketua komunitas penderita HIV memberikan beberapa tips, termasuk kesanggupan untuk mengantarkan bunga datang ke klinik khusus HIV di RSUD Jombang yang pelayanannya gratis tersebut.

Sang kakak yang akan siap mengatarkan, jika nanti adiknya jadi mau dia ajak pulang ke Jombang.

Mereka berdua pamit karena akan ke kantor BPJS Kesehatan untuk mengurus aktivasi dengan membawa rekom dari dinas airmata ini.

Saya yang melihat kepergian mereka berdua dari balik kaca hanya bisa berdoa semoga urusannya dipermudah.

Harus Bagaimana?

Tretes Prigen Pasuruan, sebuah tempat yang identik dengan bisnis kenikmatan sesaat. Hawanya yang dingin di kaki gunung welirang dan arjuno mendukung berkembangnya bisnis tersebut. Banyaknya villa dan penginapan menjamin tetap berlangsungnya aktivitas ini.

Dulu, ada lokalisasi besar di kawasan ini seiring jatuhnya orde baru, lokalisasi ini ikut bubar. Tidak ada lokalisasi menjadikan para kupu-kupu malam menjajakan dirinya tanpa pantauan.

Akibatnya jelas, pengawasan semakin sulit dilakukan. Apalagi prostitusi online juga semakin banyak. Semakin mempersulit yang sudah susah untuk dilakukan.

Pada kasus covid-19, yang dengan mudahnya meminta seseorang menunjukkan hasil tes PCR/Antigen. Di dalam dunia prostitusi tentunya akan sulitbahkan mustahil  dilakukan. Seorang PSK tidak bisa meminta calon tamunya menunjukkan hasil tes VCT begitu juga sebaliknya, seorang tamu tidak akan mungkin meminta hasil tes VCT kepada sang penjaja.

Akan ketahuan jika seorang PSK sakit kemudian melakukan tes. Ketika saat itu terjadi, bisa dibayangkan sudah berapa banyak orang yang terpapar virus tersebut.

Sebelum kejadian ini saya menjumpai Dua orang ibu yang dirinya terinfeksi HIV sehingga tidak bisa menyusui anaknya. Diketahui terpapar HIV ketika mereka berdua akan melahirkan. Tanpa tahu darimana virus itu berasal.

Bagai buah simalakama terutama bagi Pemerintah Daerah, menutup lokalisasi dapat diasumsikan membuka kotak pandora penyebaran HIV. Di sisi lain, jika tidak ditutup akan berhadapan dengan masyarakat yang semakin hari semakin agamis.

telah tayang di:

Komentar

Postingan Populer