Watu Jengger JILID 2 (Pendakian Yang Terlaksana)

Tetap Menarik

pos masuk watu jengger

Setelah tertunda seminggu terwujud juga untuk naik kembali ke watu jengger, yang tingginya hanya 1100 mdpl itu. -penundaan yang membuat suasana rumah jadi seperti kulkas
😄😄--.
Kami kira bakalan ramai karena saat itu merupakan long week end yang jarang terjadi selama 2 tahun pandemi ini. Tapi nyatanya ketika sampai di Pos perijinan masih tutup.

melepas lelah
Perjalanan dari parkiran mobil kemudian ke pos perijinan dan sampai di Pos 2 tidak bertemu satu orang pendaki pun. Hanya ditemani dan diikuti oleh nyamuk kebon yang jumlahnya ribuan. --Ini sangat menggemaskan terutama bagi saya yang suka berburu nyamuk
😄😄
--.
Pos 2. Batas Vegetasi
Untungnya rombongan nyamuk ini semakin keatas semakin sedikit bahkan tidak ada sama sekali ketika mulai masuk ke vegetasi ilalang. Entah karena ketinggian yang semakin meningkat atau memang waktu yang beranjak semakin siang.
Ilalang tinggi
Baru di Pos 3 kami bertemu dengan serombongan pemuda dan pemudi sedang mendirikan tenda. Kemudian ketika berjalan lagi melewati ilalang yang tingginya rata-rata 2 meter, kami bertemu dengan 2 rombongan berbeda. Rombongan pertama adalah sepasang pria dan wanita dimana sama-sama -- maaf-- bertubuh besar. Dan rombongan yang kedua 4 orang, 2 orang laki-laki 2 orang perempuan yang berpakaian runner. Secara usia jelas mereka semua lebih muda dari saya, kelihatan dari cara manggilnya, yang menyapa saya dengan kata "Bapak"
😁😁.
Setelah 2 jam perjalanan, akhirnya bisa summit walaupun diwarnai aksi patah semangat oleh si nduk -yang minta stop di puncak bayangan- dan si thole -yang banyak sekali memberikan syarat dan ketentuan untuk melanjutkan perjalanan-.
😄😄
patah semangat
Dipuncak, ternyata masih diluar ekpektasi kami, yang mempunyai pra anggapan akan ramai sekali seperti pendakian jilid 1 dulu. Namun puncak watu jengger selama beberapa menit, seolah menjadi property pribadi karena memang tidak ada seorang pun disitu. Yang jelas bisa berfoto-foto dengan berbagai macam ekspresi itu untungnya, tidak enaknya tidak ada yang bisa dimintai tolong untuk mengambil foto. Apalagi tripod lupa tidak ikut terbawa.
Puncak Watu Jengger
Ritual wajib jika sampai dipuncak, sarapan pagi sebagai wujud rasa syukur dan tentunya mengisi perut kami yang mulai mendedangkan lagu. Ini juga enaknya ketika sepi, bisa memilih tempat dimanapun kami mau. Mumpung sepi kami pilih saja dibawah pohon yang dulu pada waktu naik kesini tidak kesampaian karena sudah dikuasai oleh rombongan lain.

Ritual "Sarapan"
Baru ketika kami sarapan ada dua orang yang ikut sampai di puncak. Setelah sarapan, perjuangan yang sebenarnya dimulai, kami yang naik tidak mengalami hambatan berarti, ketika turun ternyata jalurnya sangat licin, demi keamanan kami harus melipir ke alang-alang agar mendapat pijakan dan pegangan. Beberapa kali dari kami baik bersama-sama maupun bergantian, karena kehilangan fokus, tidak sengaja menginjak tanah terbuka, basah dan licin tentunya, akibatnya bisa ditebak, terjengkang pastinya.
😄😄
Alhamdulillah tidak fatal.
Ekpektasi kami baru terpenuhi ketika turun, banyak sekali yang baru naik. Baik yang berkelompok ataupun berdua, baik yang akan ngecamp maupun yang tik tok seperti kami.
Turun Gunung
Berbeda dengan naiknya, ketika masuk ke jalan makadam mendekati pos pendaftaran, yang waktu berangkat rasanya nyaman-nyaman saja, tapi saat turun selain membuat kaki sakit sekali, ketajamanya juga terasa walaupun pakai sepatu yang lumayan tebal solnya.
Pos Pendaftaran ternyata sudah buka, dengan penuh kesadaran --betul-betul sadar dan tanpa paksaan-- dan sebagai orang yang taat aturan kami mendaftar ulang dan tentunya membayar retribusi Rp 11.000/orang (Kalau daftar online RP 16.000). Kenapa Pos ini buka siang, ternyata mereka pagi-pagi harus check Lock di kantor pusat Tahura R. Soerjo yang ada di Pacet sana, puluhan kilo jauhnya.
Ketika sampai diparkiran kami melihat Honda Jazz masih terparkir dengan anteng disitu, mungkin milik rombongan yang pertama kami temui ketika naik. Kenapa ini menimbulkan keheranan, ya seperti yang saya tulisan pertama dulu. Dusun tempat kami parkir adalah dusun yang terpisah dari pusat desa, sejauh kurang lebih 2-3 km dan jalannya adalah makadam sisa aspal yang terkelupas, di bebarapa tempat "joglangannya" sangat dalam dan lebar untuk model mobil jazz kemungkinan besar "nggasruk" dan mereka bisa melaluinya itu luar biasa bagi saya
🤔🤔
Pendakian kedua ini sangat berbeda dengan yang pertama dulu, masih musim kemarau. Jalan jadi lebih licin, nyamuk banyak sekali, tumbuhan perdu dan semak tinggi-tinggi ditambah susana sepi, membuat si nduk --yang kadang muncul indera ke enamnya-- dan si thole kena mental, ngajak balik. Saya juga hanya bisa mengucapkan " Salamun Ala Nuhin Fil Alamin" sambil terus meminta mereka tetap semangat dan terus berjalan. Kalaupun istirahat harus ditempat yang terbuka.
"kenali diri, kenali lawan, kenali medan maka seratus pertempuran akan kau menangkan -tsun zu-"
Pemandangan dari atas

Komentar

Postingan Populer